Kaleidoskop Pendidikan Indonesia

Di tahun 2022, tercatat sebanyak 273 juta jiwa hidup diatas tanah Indonesia. Didalamnya terdapat 52 juta pelajar, 3 juta guru, dan 217 ribu sekolah. Berangkat dari hal tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-4 sistem pendidikan terbesar di dunia setelah India, China, dan Amerika. Namun, apakah kualitas pendidikan Indonesia berbanding lurus dengan fakta kuantitas tersebut? Kalian pasti tahu jawabannya. Tidak.
Berdasarkan Program for International Student Assessment atau PISA (2021) Indonesia menempati peringkat ke 70 dari 79 negara dalam hal matematika. Peringkat 67 untuk sience dan 66 untuk reading. Parah sekali bukan? Sebenarnya apa yang terjadi dengan pendidikan Indonesia? Apakah masih memungkinkan untuk diperbaiki?
Pros and Cons Pendidikan Indonesia
Pemerintah Indonesia sudah mencanangkan 549,5 T untuk sektor pendidikan atau sekitar 20% dari APBN. Tapi kenyataannya, kontribusi di sektor pendidikan tersebut dapat dikatakan rendah, yakni sebesar 3,8% kepada GDP. Nominal ini berada jauh dibawah rata-rata negara Asia Pasifik yang memiliki kontribusi sebesar 4,6 %. Intinya, pendidikan Indonesia memiliki budget yang besar, tapi kontribusi dan impactnya relatif rendah.
Beberapa pros sistem pendidikan Indonesia diantaranya adalah sistem pendidikan Indonesia berfokus pada mata pelajaran inti. Sistem ini bisa membantu kita membangun fondasi pengetahuan yang solid sekaligus menyeragamkan pemahaman masyarakat sehingga di Indonesia lebih banyak generalis daripada spesialis. Kedua, sistem pendidikan Indonesia berstandar nasional. Satu kurikulum. Jadi, ada kemungkinan meminimalisir kesenjangan pendidikan dan konsistensi output dari sabang dampai merauke. Ketiga, sistem pendidikan Indonesia terintegrasi dengan nasionalisme. Contohnya, adanya kegiatan upacara, mata pelajaran PPKN, dan Sejarah Indonesia. Hal ini membuat anak-anak Indonesia memiliki rasa cinta tanah air dan kepedulian yang besar terhadap sejarah bangsa.
Dibalik pros dari pendidikan Indonesia, pasti ada consnya. Beberapa cons dari pendidikan Indonesia adalah kurikulum yang digunakan cenderung tidak relevan. Adanya kurikulum nasional adalah untuk menyamakan hak dan porsi pendidikan yang seharusnya didapatkan oleh anak Indonesia, tapi kurikulum yang digunakan saat ini sudah tidak relevan. Kurikulum Indonesia dinilai ketinggalan zaman dan kurang mampu mempersiapkan siswa untuk bersaing di lapangan kerja abad 21. Tenaga kerja lokal kalah sing dengan tenaga kerja luar negeri. Tugas-tugas esai dan artikel bukan lagi hal yang tepat apabila berhadapan dengan segala macam kemudahan teknologi saat ini yang menyediakan berbagai maca platform pembuat esai seribu kata dalam beberapa detik. Kedua, kurangnya wadah atau program untuk melatih critical thinking sehingga anak-anak Indonesia tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki kritus berpikir. Jadi, mayoritas siswa Indonesia tidak suka bertanya dan cenderung menulis dan mencatat. Ketiga, ruang yang relatif sempit untuk mengeskplorasi minat siswa. Pendidikan kita terfokus pada course subjek dan melupakan perkembangan minat sehingga banyak sekali kasus mahasiswa Indonesia yang mengaku salah jurusan ketika kuliah. Bahkan statistik mengemukakan 87% mahasiswa Indonesia merasa salah jurusan kuliah. Hal tersebut terjadi karena pemetaan minat tidak dilakukan sejak dini.
Peluang dan Potensi Pendidikan Indonesia
Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempersiapkan Indonesia emas 2045. Istilah ini digunakan oleh Presiden Joko Widodo untuk menandai bahwa bangsa kita sudah genap 100 tahun berdiri. Dimana banyak yang berharap ditahun itu, Indonesia telah bertransformasi menjadi negara maju. Tapi kenapa harus tahun 2045? Di tahun tersebut, akan terjadi bonus demografi yang mana kuantitas penduduk Indonesia akan mencapai top position dan berpotensi terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan karena diprediksi jumlah usia produktif akan lebih banyak daripada anak-anak dan lansia. Semakin banyak usia poduktif akan menigkatkan tenaga kerja. Semakin banyak tenaga kerja akan menghasilkan banyak produktivitas, banyak potensi cuan, ekonomi meningkat, dsb. Hal ini didukung data spesifik 20000 bayi lahir seanjang pandemi 2021. Tapi apa kualitas Indonesia sudah siap? Jika penduduk Indonesia tidak siap dengan adanya bonus demografi tersebut, yang terjadi adalah mereka akan kesulitan mencari pekerjaan. Kalau masyarakat Indonesia hanya akan menjadi pekerja kasar, melakukan pekerjaan yang bisa dilakukan oleh semua orang, maka harga pekerja akan makin murah dan tidak berkualitas. Ini akan menjadi konsekuensi negatif kalau taraf pendidikan penduduk Indonesia tidak ditingkatkan. Terus bagaimana caranya agar penduduk Indonesia siap dengan bonus demografi? Dengan menciptakan kebijakan yang selaras, infrastruktur, dan pendidikan. Lantas apa pendidikan kita sudah siap? 
Pendidikan Indonesia Menuju 2045
Kita memiliki PR besar berkaitan dengan mempersiapkan bonus demografi 2045, yakni meningkatkan partisipasi penduduk terhadap pendidikan di Indonesia. Sejauh ini tercatat, 99% penduduk Indonesia lulus sekolah dasar dan 75% nya lulus sekolah menengah. Apa ini buruk? Tidak. Tapi harus ditingkatkan. Mengingat banyaknya tenaga siap kerja yang tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan juga bisa menjadi bom atom bagi bangsa sendiri. Salah satu caranya adalah dengan bijak bersaing dengan meningkatkan taraf pendidikan. Net Enrollment Rate Tertiary Education mencatat rata-rata negara asia pasifik kurleb 27% sementara North America sebesar 71%. Ini menjadi alasan jelas, kenapa bangsa-bangsa barat lebih maju, karena peduli pendidikan. Sementara Indonesia hanya 20%. Jangankan untuk mengejar grate internasional, grate rata-rata Asia-Pasifik saja masih jauh. Nilai ini kalah dengan negara tetangga, Malaysia yang mencapai 35%. Tapi kan Indonesia penduduknya banyak? Oke, negara berpenduduk banyak seperti china juga mencapai 45%. Jadi, tidak ada alasan lain untuk tidak belajar.
Faktor lain adalah kualitas guru. Kualitas guru di Indonesia juga perlu dipertnyakan. Padahal kuantitas guru di Indonesia sudah memadai apabila dibandingkan dengan rasio ideal. Rasio ideal guru sesuai peraturan pemerintah adalah 1:20 dengan siswa. Namun, performa guru Indonesia hanya menyentuh nilai 66,94 padahal kriteria minimumnya adalah 80. Remidi. Menariknya lagi, hanya 34% guru sekolah dasar mempunyai ijazah. Intinya kita memiliki banyak guru, tapi kenyataannya tidak semua berkualitas. Banyak juga yang tidak berkualitas.
Harapan dan Ekspektasi Pendidikan Indonesia
Pertama, kita bisa meningkatkan anggaran APBN. Bisa juga dengan stop korupsi. Bisa jadi anggaran sektor pendidikan kita sebenarnya sudah besar, tapi penerapannya belum optimal atau mungkin juga banyak pihak yang berpotensi korupsi. Kedua, tingkatkan anggaran untuk kesejahteraan guru. Tidak bisa hanya dengan satu atau dua kali training, karena proses menjadi guru akhir-akhir ini juga sangat ketat. Jadi, guru harus mendapatkan pelatihan yang lebih intensif yang pastinya juga membutuhkan anggaran yang banyak. Jangan cuma pelatihan, namun kesejahteraan guru juga perlu diperhatikan. Mungkin saat ini kualitasnya masih rendah, tapi semoga dengan ini akan membuat para guru termotivasi dan akhirnya bisa meningkatkan mutu dengan fasilitas yang lengkap. Ketiga, tingkatkan kualitas model kegiatan belajar mengajar. Banyak peneliti dan pengamat pendidikan yang mengatakan, Indonesia sudah berkali-kali ganti kurikulum, tapi hasilnya kurang signifikan karena implementasinya kurang maksimal dan merata. Penyelarasan kurikulum juga harus disertakan dengan kebutuhn zaman. Jadi, selain harus menguasai critical thinking dan problem solving yang baik, siswa juga harus belajar tentang perkembangan zaman. Kalau kalian jadi Menteri Pendidikan, kira-kira kebijakan apa yang akan kalian keluarkan? 
Kami berharap, kedepannya pendidikan Indonesia menjadi lebih inklusif dan dapat diakses oleh anak Indonesia terlepas dari latar belakangnya. Buat kalian yang masih menempuh pendidikan, jangan berhenti disini. Ada banyak hal menarik yang perlu dicoba. Good luck! *)ans

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta dalam Diam adalah Caraku Menunjukkan Cinta yang Paling Dalam (Menelisik Cinta dalam persepsi Nabi Yusuf-Zulaikha)

Menjadi Santri Sportif

PROBLEMATIKA PJJ DALAM PERSPEKTIF PESANTREN SALAF