Menjadi Santri Sportif

Suasana akhir bulan seperti ini, tentunya banyak fenomena miris, uang saku menipis, jajan habis, dan perut kembang kempis. Seiring hal tersebut, maka mulai banyak basa-basi dilayangkan, surat-surat berterbangan, dan ribuan pesan minta sambang. Isi pesan pun bermacam-macam, ada list jajan seperti warung hendak kulakan, ada juga yang menceritakan segala keluh kesah yang penuh kesedihan. 
Lumrahnya santri yang baru mondok, segala hal pasti diceritakan. Mulai dari banyak jemuran berjatuhan, sandal yang menjadi korban ghosoban, uang hilang, kaki dan tangan yang mulai gudikan, dan teman-teman yang katanya hidupnya penuh dengan sindiran. Akhirnya, fasilitas telepon yang harusnya ajang bertanya kabar, malah jadi tempat air mata jatuh berhamburan. Bukan kabar baik yang tersampaikan, justru banyak keluhan berdatangan. Katanya tidak betah, karena teman-temannya diajak kompromi susah. Katanya tidak kerasan, karena yang didengar setiap hari hanya sindiran. Katanya kepingin boyong, karena banyak godaan dan tidak tahu kemana harus condong.
Layaknya semua hal dalam hidup, pengalaman di pesantren juga ada yang baik dan buruk. Ada banyak kisah bahagia. Ada yang lagi senang karena ulangannya mendapatkan kategori 'brilian'. Ada yang lagi senang karena sendal yang kemarin raib tiba-tiba datang. Ada yang lagi senang karena teman sekamar ngajak mayoran. Ada yang lagi senang karena semalam kelaparan lantas tiba-tiba dapat pelangan. Lantas kenapa bukan yang bahagia-bahagia itu yang diceritakan?
Coba kita usut, apakah orangtua kita ketika telepon membahas hal-hal yang kusut? Misalnya, orangtua kita sedang sakit, harga cabai naik, sawah gagal panen, harga gabah yang terbanting, atau mungkin banyaknya hutang orang tua demi bisa bayar SPP. Tentunya tidak, bapak dan ibu pasti mengabarkan yang baik-baik, bahwa kondisi beliau dalam keadaan sehat, sawah yang mendekati hari panen, adik yang mendapat juara kelas, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan yang kita kabarkan, kontras sekali, bukan?
Maka dari itu, jika berkesempatan bertukar kabar dengan orang tua, kabarkan yang baik-baik saja. Jadilah santri yang sportif. Ketika orang tua memberi kabar baik, kita juga harus memberikan kabar baik. Ketika orang tua membagikan kebahagiaannya, kita juga harus membagikan kebahagiaan kita. Bukan malah sebaliknya. Ingat, dibandingkan lelahnya orang tua, rasa sedih kita tidak ada apa-apanya. 
Juga jangan lupa, pesantren itu miniatur masyarakat, ada banyak karakter bisa mengakrab. Pesantren itu tempatnya orang-orang yang berusaha menjadi baik, bukan tempatnya malaikat yang jelas sudah baik. Jadi, sadarlah kalau kamu bukan pusat dunia. Yang orang bicarakan juga bukan tentang kamu saja. Yang kamu lakukan juga belum pasti diperhatikan. Maka, belajarlah mengontrol ketersinggungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta dalam Diam adalah Caraku Menunjukkan Cinta yang Paling Dalam (Menelisik Cinta dalam persepsi Nabi Yusuf-Zulaikha)

PROBLEMATIKA PJJ DALAM PERSPEKTIF PESANTREN SALAF